Oleh Teguh Estro |
Climate Change atau Perubahan iklim perlahan tapi pasti akan berubah menjadi monster yang bernama Climate Disaster alias bencana iklim.
Tidak sulit memprediksi kapan bencana tersebut akan meledak. Karena di beberapa tempat sudah mulai merasakan dampaknya. Apakah sudah terjadi kenaikan curah hujan? Apakah datangnya musim mulai tak pasti? Hujan badai disertai petir kian familiar kah? Bagaimana keadaan wilayah daratan, kian panas bukan? Ini masih permulaan, sampai beberapa prediksi menbeberkan bahwa Climate Disaster akan menghabisi karier para petani. Lantas bukankah Indonesia adalah negara agraris?
Meskipun sudah terlambat, namun tak mengapa kita memulainya dengan pertanyaan. Kenapa perubahan iklim dapat terjadi. Secara singkat penyebabnya yaitu sudah sesaknya zat emisi karbon yang terikat di atmosfir bumi. Emisi karbon tersebut mengikat panas sehingga terkurung dalam waktu lama di ataslitosphere kita, inilah yang dinamakan ‘Efek Rumah Kaca’.
Jika jumlah emisi karbon tersebut seimbang, maka sangat berguna untuk membuat planet ini terasa hangat. Namun sebaliknya jika sudah terlalu banyak terlepas emisi karbon (seperti saat ini), maka dampak ekstrim yang akan terjadi. Dalam buku EKONOMI LINGKUNGAN, Prof Dr Effendi menjelaskan :
“Gas-gas yang dapat membentuk rumah kaca dan menyebabkan efek rumah kaca antara lain;Karbondiksida, Metana,CloroFluoroCarbon (CFC), KarbonMonoksida dan Nitrogen” (hal. 233)
Selanjutnya guru besar Universitas Airlangga tersebut menambahkan, bahwa pemanasan global yang terjadi sampai dengan saat ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu perbuatan manusia dan bencana alam.
Semua gerak-gerik industri modern yang kita jalani tanpa sadar telah mempercepat terjadinya krisis iklim. Mulai dari yang sederhana, kita kerap menggunakan bahan plastik yang ternyata terbuat dari zat bahan bakar fosil. Tepatnya berasal dari bahan carbon, oksigen, hydrogen, klorin, belerang dan nitrogen. Bukankah hampir semua perkakas manusia terbuat dari plastik. Handphone mengandung plastik, begitu juga mobil, motor, televisi, bahkan sampai sikat gigi mengandung plastik.
Selain pabrik plastik, Penyumbang emisi karbon yang tinggi juga ada pada aspek transportasi. Terutama penggunaan moda transportasi berbahan bakar fosil alias Bahan bakar Minyak. Kita berangkat kerja menggunakan motor atau mobil yang melepaskan emisi karbon. Begitupun saat rekreasi kita kembali membakar emisi karbon, menghadiri pesta, menjemput teman, atau berkencan bersama kekasih. Hampir setiap centimeter kita bergerak memiliki tanggung jawab lepasnya emisi karbon.
Apa lagi ? Penggunaan energi listrik yang menggunakan pembangkit listrik berbahan fosil. Sebut saja energy listrik dengan pembakaran batu bara, gas alam dan minyak bumi. Ini juga menghantarkan kita sampai tersperosok lebih dalam pada bencana iklim. Hal inilah yang dijelaskan dalam buku HOW TO AVOID A CLIMATE DISASTER, Karya Bill Gates. Pendiri Microsoft tersebut menjabarkan
"Berapa banyak gas rumah kaca yang dihasilkan kegiatan kita:
a. Industri pabrik seperti semen, baja, plastik (31 %)
b. Pembangkit listrik (27%)
c. Kegiatan pertanian dan peternakan (19%)
d. Pembakaran BBM Transportasi (16%)
e. Mesin pendingin / Gudang pembeku (7%) “
Selanjutnya sosok yang pernah menjadi manusia terkaya di dunia ini menyatakan bahwa biang keladi utamanya adalah energi listrik yang bersumber dari pembakaran fosil. Karena listrik menjadi sentral energi bagi berlangsungnya faktor-faktor pelepasan emisi karbon lainnya.
Lantas apa yang terjadi bila benar-benar planet bumi ini mengalami pemanasan global? Mulai dari perubahan suhu, naiknya volume permukaan laut, kekeringan tanah, penurunan zat hara yang menyebabkan anjloknya produktifitas pertanian, musnahnya beberapa flora dan fauna, kebakaran hutan dan masih banyak bencana turunannya. Kita mulai melihat ragam anomali lingkungan satu persatu muncul di pemberitaan media.
Perubahan suhu dapat membuat jadwal panen dan jadwal tanam para petani kacau. Karena perubahan suhu berdampak pada ketidakstabilan cuaca, kerap terjadi hujan deras di musim panas atau sebaliknya panas terik di musim penghujan. Maka produktifitas hasil pertanian lumpuh membuat proyeksi ketahanan pangan sia-sia. Bukankah ini dapat menyebabkan kelangkaan pangan. Seketika terjadi inflasi atas kenaikan harga-harga pangan. Pemerintah dituntut meramu instrument fiskal untuk menyeimbangkan “kegaduhan” pasar.
Setiap tahunnya, Benua Afrika minus daerah pertanian karena berubah menjadi gurun pasir. Di Aljazair contohnya, telah kehilangan 100.000 Are lahan tanam tiap tahunnya karena kekeringan. Naiknya suhu bumi dan terjadinya kekeringan merupakan combo attack bagi negara agraris. Kemunculan badai angin kering akan terjadi lebih sering. Dampaknya akan menghilangkan Top Soil alias humus terbaik diatas lahan. Maka sampai disini karier para petani akan tamat. Bill gates juga memberikan perhatian khusus untuk waspada pada wabah kekeringan, sebagaimana tulisannya “
“….Kalau Cuaca panas, nyamuk akan mulai hidup di tempat-tempat baru (nyamuk suka kelembapan, dan akan pindah dan daerah yang mongering ke tempat lain yang menjadi lebih lembap), jadi kita akan melihat kasus-kasus malaria dan penyakit lain dan penyakit lain yang disebabkan nyamuk di tempat-tempat yang belum pernah mengalaminya…” (halaman 14)
Indonesia pun akan didatangi oleh ‘kiamat’ bencana iklim ini. Terutama saat pemanasan global membuat mencairnya lapisan es di kutub utara dan kutub selatan. Maka volume air laut akan naik yang menghantui negara-negara kepulauan. Bagaimana tidak ngeri, jika pulau-pulau kecil di nusantara hilang dari peta. Apalagi beberapa kota besar di Indonesia beradai di garis pantai yang rendah. Bagaimana kasihannya bagi jutaan masyarakt yang menggantungkan mata pencahariannya pada ekosistem laut dan kehidupan pantai.
Sebuah studi dari International Institute for Environtment and Development telah menganalisis pengaruh kenaikan 10 meter permukaan laut. Penelitian ini mengungkapkan 634 Juta orang saat ini tinggal di sepanjang pantai.
Dalam buku NATION IN TRAP karangan Ir. Effendi Siradjudin mencatatkan perhitungan mengerikan mengenai naiknya permukaan laut.
“Jika lapisan es di Greenland, yang lebih dari satu mil tebalnya itu mencair seluruhnya, permukaan laut akan naik 23 kaki. Dan jika lapisan es Antartika Barat pecah seluruhnya, permukaan laut akan naik 16 kaki. Jika kedua lapisan e situ mencair bersama-sama, ilmuwan percaya itu menjadi hal yang paling rentan, akan menaikkan permukaan laut 39 meter (hal 128)”
Lalu pertanyaannya bagaimana nasib Jakarta yang berada di Zona Rawan tersebut. Surabaya, Banjarmasin, Palembang, Makassar. Begitu juga negara Tongkok yang kota-kota besarnya di sekitar pantai, Korea, Jepang, Bangladesh, Britania, Yunani, Maladewa dan masih banyak populasi besar lainnya. Tentu saja hal ini akan berbuntut pada masalah Ekonomi, Evakuasi dan Mitigasi Bencana, termasuk memikirkan saat bangunan-bangunan vital terendam air seperti pabrik dan gedung pemerintahan. Sudah siapkah kita?
Sumber Bacaan :
1. Bill Gates., "HOW TO AVOID CLIMATE DISASTER", PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2021
2. Prof. Dr. Effendie., "EKONOMI LINGKUNGAN", Penerbit UPP STIM YKPN, Yogyakarta 2019
3. Ir. Effendi Siradjudin., " NATION In TRAP" ESIR Institute, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2012