Hitspali.com -- Terpaan badai ekonomi akhir-akhir ini kian sulit terukur dampaknya.Belajar dari Pandemi Covid 19 yang melumpuhkan banyak sektor.Hal tersebut membuat shock pada kestabilan APBN, begitu juga upaya mitigasi, recovery hingga rebound pertumbuhan ekonomi belum juga ada kepastian.Sampai terdapat pertanyaan yang beredar di masyarakat “KAPAN CORONA BERAKHIR…?” Begitupun beberapa tahun ke depan,umat manusia dihantui oleh adanya Bencana Iklim yang dapat merontokkan pada persendian ekonomi lebih dalam lagi.
Sebelumnya,Indonesia tercatat sudah pernah menghadapi guncangan ekonomi dahsyat.Pada saat Krisis Moneter Tahun 1998,Ancaman RESESI Tahun 2008 dan Krisis Global 2018 memang cukup memukul perekonomian.Akan tetapi masih ada kegiatan ekonomi real yang tetap bertahan sebab masih berjalannya interaksi ekonomi antara Rumah Tangga Produsen dan Rumah Tangga Konsumen skala kecil.Dimotori oleh Interaksi pelaku ekonomi antara UMKM, pasar ritel dan pasar tradisional.Namun berbeda dengan Krisis Covid-19 saat ini.Adanya pembatasan interaksi manusia berpengaruh cukup telak pada macetnya operasional pada Rumah Tangga Produsen serta rendahnya daya beli pada Rumah Tangga Konsumen.Dalam bahasa sederhana “MAJU KENA, MUNDURPUN KENA”
Sebagaimana pernyataan DR. DYAH PURWATI dalam buku Meramu Kebjakan di Tengah Pandemi Covid-19 :
“Wabah Covid – 19 ini tidak hanya mengungkap kelemahan dalam sistem kesehatan di semua negara,tetapi juga mengancam kapasitas keuangan organisasi publik.Banyak pemerintah nasional maupun lokal menyatakan keprihatinan tentang penurunan pendapatan dan kesinambungan keuangan jangka panjang untuk mendukung kegiatan operasional mereka” (hal. 62)
Beberapa pelaku ekonomi kemudian mencari keberuntungan lewat digitalisasi ekonomi.Mulai mengenal aplikasi,menggandeng market place,pembayaran e-money,distribusi dengan deliverytransportasi online.Namun karena kapasitas pengetahuan digital yang tidak merata.Hal ini justru memperlebar jurang kesenjangan antara golongan The Have dan The Poor.
Sebenarnya keterlambatan masyarakat kita beradaptasi pada teknologi sangat disayangkan.Padahal gelombang isu teknologi sudah datang berkali-kali namun bangsa kita tak kunjung mengambil momentum tersebut.Seperti kemunculan e-comerce pada tahun 1997,gandrungnya pasar Smartphone tahun 2006,berkembangnya kultur social media tahun 2007 dan diperkenalkannya teknologi cloud pada tahun 2012.Kondisi ini dijelaskan oleh Prof Rhenald Kasali Dalam buku Disruption :
“Manusia menghadapi krisis atau masalah di setiap zaman.Manusia selalu punya cara untuk mengatasinya.Namun dalam prosesnya,kita selalu menyaksikan ribuan korban, yaitu mereka yang gagal beradaptasi” (halaman 30)
Apabila kita merefleksikan lebih jauh lagi pada ratusan tahun lalu,sejatinya bangsa Indonesia memiliki sejarah interaksi ekonomi yang dominan di kawasan Asia Tenggara.Sebut saja seperti Kedatuan Sriwijaya cukup sukses menjadi negara maritim.Selanjutnya diikuti dominasi Majapahit,Kerajaan Pasai dan Aceh yang bercorak kerajaan maritim.Sejarah dominasi bangsa Indonesia di kawasan Asia tenggara sudah masyhur.Sehingga tidak heran pada tahun 2003 Indonesia sempat menjadi tuan rumah terselenggaranya ASEAN SUMMIT di BALI dengan memunculkan Visi ASEAN 2020.Yakni,tercapainya suatu kawasan yang stabil,makmur berdaya saing tinggi, dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.Hal inilah yang nantinya menjadi cikal bakal munculnya gagasan Masyrakat Ekonomi ASEAN.
Interaksi perdagangan di kawasan Asia Tenggara memiliki historis yang panjang.Yakni masa kejayaan pada abad ke 15 sampai pada abad ke 17.Lalu masuk masa kemunduran sampai era pencaplokan penjajahan dimulai pada abad ke 19.Dalam sebuah Buku berjudul ASIA TENGGARA DALAM KURUN NIAGA karya Prof Anthony Reid disebutkan :
“…Asia Tenggara selalu terbuka bagi perdagangan antar samudera,bagi para petualang dan kaum penyebar paham dalam jumlah lumayan…” (halaman 04)
Hal ini menjadi pendukung anggapan bahwa sejak dahulu khususnya abad ke -15 sampai dengan abad ke -17 keterbukaan ekonomi di Asia Tenggara telah terjadi.Professor jebolan Cambridge Universitiy tersebut Juga menambahkan adanya Interaksi antar pelaku ekonomi pada masa abad ke 15 tersebut.Akademisi kelahiran New Zealand tersebut menceritakan di Kepulauan Visayan (Piliphina) disebutkan bahwa Penduduk Pegunungan tidak bisa hidup tanpa ikan,garam dan bahan makanan lainnya dari (produsen) daerah lain.Begitu juga penduduk pantai tidak bisa hidup tanpa beras dan kapas dari penduduk pedalaman.
Seharusnya hal tersebut dapat menjadi refleksi bagi kita di zaman sekarang dalam membangkitkan ekonomi di masa krisis covid 19. Bahwa interaksi para pelaku ekonomi merupakan denyut nadi kehidupan suatu bangsa.Segala cara harus diupayakan agar mendukung keterbukaan proses kegiatan ekonomi.Saat ini untuk melawan pandemi,para pelaku ekonomi membutuhkan peran pemerintah untuk berperang di dunia digital.
Mulai dari upaya fiskal untuk melakukan program stimulus digitalisasi ekonomi.Proteksionisme melalui subsidi pemerintah bagi perusahaan berbasis teknologi milik Indonesia untuk bersaing secara global.Termasuk kelunakan akses kredit bagi para start-up baru yang sangat membutuhkan investasi ventura.Tentu saja dalam koridor yang tidak bertentangan terhadap ekonomi pancasila.Upaya megatasnamakan kebebasan untuk berbuat monopoli tetap tak bisa ditoleransi.Akan tetapi bila ditimbang, mana yang harus dipilih antara keterbukaan dan isolasi.Tentu keterbukaan ekonomi memiliki banyak kelebihan daripada isolasi totalitarian.
Hal Senada pernah diungkapkan oleh DR.Maddaremeng A.Panennungi dalam buku TEROBOSAN BARU ATAS PERLAMBATAN EKONOMI :
“…Sebuah negara yang terbuka jauh lebih menguntungkan daripada menjadi negara yang tertutup dengan melihat pengalaman Jepang dan China.Pembukaan Isolasi Jepang di sekitar tahun 1800 an berhasil membawa perekonomian Jepang menjadi negara Asia pertama yang memiliki tingkat pembangunan yang mirip negara maju…”
Peneliti pada FEB Universitas Indonesia ini menambahkan begitu juga dengan negara China berhasil menjadi perekonomian terbesar dunia sejak tahun 2015 berkat upaya open door policy yang dicanangkan Deng Xiaoping pada Akhir Tahun 1970-an.
Buku Bacaan :
1.DR. Dyah Purwati, Meramu Kebijakan di Tengah Pandemi Covid 19, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2021
2.Prof Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2020.
3.Prof Rhenald Kasali, DISRUPTION, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2017
4.DR.Maddaremeng A. Panennungi, Terobosan Baru Atas Oerlambatan Ekonomi, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2020
Penulis :Teguh Estro
Direktur Eksekutif RESEI (Research and Social Empowerment Institute)
(Tulisan ini sudah tanyang di www.inforesei.com)