Joko Sadewo, Pengacara di LBH Kabupaten PALI (Foto :dok.pribadi) |
Hitspali.com--GEBYAR perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77 tahun pada tahun 2022 ini, nampak mulai meriah sejak memasuki awal bulan Agustus. Himbauan pemerintah agar memasang bendera merah putih di depan tiap rumah, juga dipatuhi mayoritas warga.
Beragam kegiatan dan perlombaan yang dihelat tiap daerah, menambah semarak perayaan HUT RI kali ini. Euforia itu seakan meledak, pasca sirnanya isu pandemi Covid 19 yang sempat membuat orang tak boleh berkumpul, selama beberapa tahun terakhir.
77 tahun sudah Indonesia merdeka. Usia itu bisa disamakan dengan umur rata-rata satu generasi manusia. Bukan waktu yang singkat, bukan?
Ya.. Bila kita perumpamakan dengan siklus hidup manusia, ia telah melewati semua fase kehidupan. Dari yang paling sulit hingga sampai pada kondisi terbahagia. Jika manusia sehat, kalaupun ia panjang umur, pada usia 77 tahun, tentu ia adalah orang yang berkepribadian matang, bijak, dan pada kondisi mental yang stabil.
Namun itu hanya perumpamaan saja. Negeri ini bukan mahluk hidup. Ia hanya teritorial yang dihuni oleh sekumpulan orang, dengan beragam usia, gender, dan lain-lain, yang penuh perbedaan serta dinamika.
Pada usia kemerdekaan 77 tahun ini, patutlah kita merefleksikan kembali. Mengevaluasi lagi. seperti apa kemerdekaan yang saat ini kita nikmati. Kita gaungkan. Dan kita rayakan setiap tahunnya. Apakah benar kita telah merdeka. Ataukah, kita tak lagi bisa membedakan seperti apa merdeka dan dijajah?
Dulu, kita dijajah oleh bangsa asing selama 350 tahun. 1,5 abad. Sekitar 3 atau 4 generasi. Wow! Kenapa bisa selama itu? Jawabannya, karena kita sudah terlanjur nyaman dijajah. Waduh!
Para penjajah yang menduduki dan menguasai negri Indonesia bisa dikatakan sukses besar. Tak hanya sumber daya alam yang dikeruk, sumber daya manusia yang diperbudak, mereka juga berhasil mendoktrin otak dan mental rakyat pribumi, agar berkepribadian pengecut, sulit bersatu, dan khianat.
JOSA (Joko Sadewo) juga dikenal sebagai owner Media online/cetak Kabarpali.com (Foto : dok.pribadi) |
Sifat feodal itu lalu diwariskan secara turun temurun pada anak cucu. Hingga saat ini. Oleh karenanya, Indonesia adalah primadona bagi para penjajah. Disadari atau tidak, orang Indonesia sangat welcome untuk dijajah. Ramah tamah dan mendukung penjajahan yang terus diupdate bentuk dan jenisnya.
Beruntung, pada 17 Agustus 1945, berkat kekacauan di negeri Jepang --yang saat itu sedang menguasai Indonesia— Soekarno Hatta berkesempatan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Maka, Indonesia dinyatakan bebas merdeka.
Tanpa bermaksud menafikan perjuangan para pahlawan yang telah gugur di medan laga, saat berusaha untuk merdeka. Tetapi, mereka hanya segelintir dari rakyat Indonesia yang ingin lepas dari penjajahan. Yakinlah, lebih besar dari itu telah terlanjur nyaman, hidup dalam penguasaan negri asing.
Perlawanan para pejuang terkotak-kotak karena sulit bersatu. Mayoritas yang lainnya bermental pengecut. Hati mereka khianat. Sehingga tak terasa 350 tahun sudah, tanah kaya raya ini dikuasai para perampok.
Tahun ini, Indonesia merayakan 77 tahun kemerdekaannya. Tak ada lagi kekerasan oleh bangsa asing yang terang-terangan memperbudak rakyat kita. Tak ada lagi perampasan harta benda sebagai upeti pada penguasa. Tak ada lagi pengekangan kebebasan, segala bentuk penyiksaan fisik dan psikis tak berperikemanusiaan. Itulah makna kemerdekaan ini.
Lalu, apakah kita benar-benar telah merdeka pada arti secara luas. Merdeka yang hakiki. Merdeka tanpa rongrongan, hidup tanpa keterpaksaan, tanpa beban. Lebih pada secara psikis?
Merdeka secara ekonomi, hukum, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Dan sebagainya..?
Mengenai ini mari kita renungkan. Tak perlu dijawab. Cukup syukuri saja. Karena sesungguhnya, menurut hemat Saya, kemerdekaan itu adalah kemustahilan. Jadi? Mari kita nikmati penjajahan ini! Tetaplah hidup, meski belum merdeka!!**
Penulis : Joko Sadewo S.H.,M.H. [orang terjajah]