Ilustrasi |
Ribuan kepala desa se-Indonesia gelar unjuk rasa di Jakarta. Tuntutan yang cukup spesifik dan sensitif, yakni perpanjang masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Sepertinya usulan tersebut disambut baik oleh pihak istana.
Alasan klasik dari para kades yakni masa 6 tahun menjabat tak cukup untuk meredam ketegangan politik di desa. Ya, sebagaimana kita tahu bahwa konstelasi demokrasi desa memang cukup sengit. Bahkan residu psikologisnya tak bisa memakan waktu sedikit untuk diredam. Kerap kali mempertajam luka politik dan keamanan sekat perseduluran. Akan tetapi alasan tersebut melabrak nalar historis dimana desa merupakan embrio daripada semangat kekeluargaan bangsa. Apakah niat mendinginkan ketegangan politik desa ini merupakan alasan logis atau dibuat-buat saja dengan kacamata kuda?
Salah seorang sosiolog terkemuka, Emile Durkheim kelahiran Perancis Tahun 1858 pernah mempopulerkan teori solidaritas sosial. Durkheim pun pernah mengalami gonjang-ganjing politik di Perancis pada tahun 1920. Dalam buku TEORI SOSIAL, George Ritzer mengutip tulisan Emile Durkheim dalam buku The Division of Labour ini Society :
Emile Durkheim |
“Durkheim menganggap masyarakat Perancis sedang dalam kondisi ketidakpuasan genting, dikarenakan keabnormalan struktur sosial. Dihapusnya sistem gilda (serikat dagang) pada abad ke-18 telah memasukkan ketidakseimbangan struktural yang hebat pada masyarakat Perancis” (Halaman 161)
Dari pengalaman Sosiolog pengajar Universitas Sorbonne ini kita belajar bahwa kenormalan struktur sosial berbanding lurus dengan keserasian serikat-serikat masyarakat. Bila kita berkacamata pada realitas sosial di desa, sepertinya keserasian serikat atau organisasi masyrakat masih menjadi pekerjaan rumah yang lama dipendam. Bahkan tak jarang antar institusi saling kanibal di lingkup terkecil desa.
Bagaimana mungkin akan terjadinya solidaritas sosial di Desa, bila bara apinya masih bersembunyi di dalam sekam. Bukan masalah panjang atau pendeknya masa jabatan kepala desa 6 tahun atau 9 tahun, namun yang dibutuhkan adalah konsolidasi sosial yang merata ke seluruh masyarakat. Seharusnya dialog antar kelompok masyarakat di desa tidaklah menjadi giat sampingan. Bahkan tak jarang komunikasi ke masyarakat hanya dilakukan jelang pemilu saja. Hal inilah yang membuat rapuhnya solidaritas masyarakat desa. Sehingga rentan bila dibenturkan dengan panasnya ketegangan pilkades.
Dalam buku KISAH SOSIOLOGI, Kevin Nobel Kurniawan lebih rinci menjabarkan teori Solidaritas Sosial Emile Durkheim ini :
“Durkheim mencoba untuk membedakan dua jenis solidaritas sosial, yaitu Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik” (halaman 21)
Master Sosiologi dari University of Leeds ini kembali menjabarkan bahwasannya Solidaritas Mekanik bagaikan sebuah mesin dengan komponen-komponen mekaniknya yang dapat diganti dengan suatu sekrup yang bentuknya sama, demikian juga seseorang yang tinggal di desa. Karena hampir semuanya homogen dan memiliki karakteristik yang sama, setiap orang dapat digantikan oleh peran orang lain.
Masyarakat pedesaan memiliki dasar teoritis yakni homogenitas. Mereka hampir memiliki kesamaan yang membungkus identitas masyarakat desa. Seperti jenis pekerjaan, bahasa, adat bahkan tak jarang homogenitas dalam aspek religiusitas. Sehingga eksistensi yang baru dan berbeda sangat sensitif bila diletakkan di desa.
Kita sangat membutuhkan pamong-pamong desa yang jeli melihat perbedaan di tengah arus keseragaman masyarakat desa. Meskipun jabatan kepala desa hanya 6 tahun namun dibarengi dengan keseriusan melakukan konsolidasi sosial, tentu akan menjadi periode kepemimpinan yang produktif. Sebaliknya bila jabatan kepala desa 9 tahun, namun tak dilakukan upaya dialog secara disiplin, hasilnya justru menjadi boomerang. Kita khawatir akan lahir diktator kecil yang akan berupaya membangun dinasti di lingkungan desa.
Teguh Eko Sutrisno S.Kom.I (penulis) |
Kemampuan menyikapi secara tepat terhadap potensi ketidaknormalan dalam kehidupan sosial menjadi kebutuhan di masa kini. Karena dengan derasnya kucuran dana desa terhadap pembangunan fisik, membuat transformasi desa menuju budaya masyarakat kota butuh dikawal. Karena masalah yang jauh lebih penting daripada perpanjangan masa jabatan kepala desa, adalah persoalan pergeseran nilai masyrakat desa. Sebagaimana disampaikan Roestanto Wahidi, M.BA dalam buku MEMBANGUN PERDESAAN MODERN dalam menyikapi kondisi sosial-ekonomi masyarakat desa :
“Dampak dari perubahan tersebut antara lain bergesernya homogenitas masyarakat menjadi masyarakat yang lebih heterogen seperti karakteristik masyarakat perkotaan” (halaman 15)
Mengupas pembangunan Sumber Daya Manusia di desa jauh lebih penting tinimbang membahas isu polemik perpanjangan masa jabatan kepala desa. Karena gempuran teknologi informasi membuat perilaku masyarakat turut berbelok. Dan kecenderunganannya berbelok ke arah negatif. Namun disisi lain gerakan literasi untuk mengangkat kepribadian masyarakat desa masih jauh panggang daripada api.
Kita khawatir membiaknya masyarakat desa bergaya parlente namun cara berfikir masih sangat purba. Masyarakat yang mudah diprovokasi, sulit mengadopsi hal baru, tak memiliki etos kerja yang maju bahkan cenderung antipati terhadap program pembangunan. Inilah yang menghambat kemandirian SDM kita di tingkat desa. Kalau sudah begini walaupun jabatan kepala desa seratus tahun sekalipun, tetap saja konflik politik akan mudah tumbuh subur.
Sumber bacaan :
1. George Ritzer & Barry Smart. 2014, Handbook Teori Sosial, Nusa Media ; Bandung
2. Kevin Nobel Kurniawan. 2020, Kisah Sosiologis, Pemikiran yang Mengubah Dunia dan Relasi Manusia, Buku Obor; Jakarta
3. Roestanto Wahidi D. 2015, Membangun Perdesaan Modern, Tata Kelola Infrastruktur Desa, Indodata Development Center ; Bogor
Tulisan ini telah tayang di www.inforesei.com